Taryana; Seorang Guru.
Ketika
mentari pagi masih tertidur, berselimutkan halimun tipis yang menyejukkan
udara. Lampu-lampu kota masih menguningkan jalan, mengarahkan siapapun yang
sedang berjalan di atas kaki-kaki perjuangan. Muram, itu gambaran kota.
Dunia belum lagi bergerak untuk hidup. Akan tetapi, ia
sudah rapih dan bergegas, menuju tempat di mana ia mengajar. Di lewatinya
jalan-jalan muram itu; tanpa ragu, tanpa takut sedikitpun. Sepatu usangmu, dan
stasiun kereta adalah saksi atas perjuangan hidup yang berpendoman untuk menyebarkan
kebaikan; berupa ilmu.
Tak ada sedikitpun ia mengeluh atas jalan yang di laluinya,
segala yang dilakukannya semata-mata untuk murid-muridnya, untuk membekalkan
mereka atas ilmu yang bermanfaat.
Fisiknya tak segagah dulu, penyakit telah membuatnya
menjadi kelihatan begitu kikuk, tak sedikit dari mahasiswanya yang menghina hal
itu. Saban hari ia menjadi bahan tertawaan para mahasiswanya. Mahasiswa yang
tak lagi menjadi manusia atas dirinya, terlalu banyak terpelajar tidak menjadi
pandai dalam bersikap, justru menjadi penghina antara sesama, ironis era kini.
Bukan hanya dihina akan tertawaan, namun juga diremehkan.
“Ah, mata kuliah pak Taryana, santai saja, datang saat
mau selesai pun ia tidak marah, lagi pula, apakah ia bisa marah?” kata seorang
Mahasiswa, sembari tertawa sendiri.
“Betul tuh, lagi pula, cara mengajarnya pun tidak jelas,
banyak yang tidak paham, bicaranya terbata-bata..” yang lain pun ikut
meremehkan.
Bukan hanya di luar ruang kelas, ia pun mendapatkan
begitu banyak penghina di dalam kelas.
Setiap ia menjelaskan, tak ada mahasiswanya yang
mendengarkan, bila ada, itu pun sedikit. Bila ia memberikan catatan, para
mahasiswa justru memfotonya, bukan mencatatatnya.
“Jadi, Hukum Perdata Internasional adalah hukum yang
mengatur tentang...” Suaranya tak terdengar jelas, karena mahasiswa justru
lebih senang dengan topik pembicaraannya sendiri-sendiri.
Namun, tak sedikitpun ia memarahi, bahkan menegur pun
tidak. Ia hanya fokus menjelaskan seperti biasanya. Suara kelas begitu gaduh
mengalahkan suasana pasar, tak menghiraukan dia. Penjelasannya memang begitu
terbata-bata, terlihat kikuk. Dibalik itu semua; ada hati yang dibuat dari
kesabaran yang begitu agung.
Ketika mentari hendak tertidur kembali, dan digantikan
oleh rembulan, baru ia dapat pulang dengan sepatunya yang usang. Berjalan
dengan kebahagiaan karena sudah banyak ilmu yang diberikan.
Penghinaan, tertawaan, peremehan; semua dibalasnya dengan
senyum keikhlasan tanpa tak ada amarahan bagi seluruh mahasiswanya, segala dosa
yang dilakukan terhadapnya dimaafkan tanpa perlu mengucap kata maaf untuknya.
Ia ikhlas.
Di setiap harinya, ada begitu banyak dosa dilakukan, dan
pada hari itu juga, ia memaafkan.
Ada kalanya, ia menguji mahasiswanya, ia tidak memaksa
mahasiswanya untuk tahu, tetapi ia mengharapkan ada hasil dari suatu tempaan
(Baca; Pembelajaran).
Ada yang dapat menjawab dengan argumentasinya
sendiri-sendiri, ada yang mencontek dari internet.
Dipanggilnya satu persatu mahasiswa untuk menjawab
pertanyaannya.
“Burhann, Burhann..” Matanya melirik kanan dan kiri untuk
mencari di mana pemilik nama Burhan tersebut.
“Pak sepertinya, di kelas ini tidak ada yang bernama
Burhan, mungkin bapak salah absen..” kata seorang mahasiswa yang disambut
dengan tertawaan seluruh kelas, pun begitu dengan pak Taryana, ia tersenyum
atas kesalahannya sendiri.
“Sepertinya saya salah mengambil absen kelas..” tersenyum
ia.
“Baik, saya ambil absen kelas kalian dulu..”
Ia tetap sebagai manusia yang rendah hati, tak melulu
menjadikan mahasiswa sebagai kerbau untuk disuruh-suruh, ia mandiri, meski
langkahnya pun tak gagah lagi.
Menurut beberapa mahasiswa yang mengetahui permasalahan
yang terjadi atas fisik beliau, beliau pernah terkena stroke, hal tersebut yang
membuatnya terlihat kikuk dalam mengajar. Penyakit tersebut telah merobek
ilmu-ilmu yang ingin ia sampaikan.
Meski memiliki keterbatasan, ia tidak sedikitpun mengeluh
dihadapan mahasiswanya, bahkan terkadang senyum pun diberikan secara gratis
terhadap sikap mahasiswa yang justru memberikannya penghinaan.
Tiba sampai akhirnya, mahasiswanya disadarkan akan sebuah
peristiwa.
Pak Taryana, tak dapat lagi memberikan senyum kepada
mereka, Tuhan menginginkan beliau untuk memberikan senyum indahnya di surga.
Mahasiswa yang memberikan penghinaan pun tak dapat lagi mengucapkan maaf,
tetapi, beliau pasti sudah memaafkan kesalah-salahan mereka.
Ternyata, ada diam yang dibuatnya untuk menutupi duka
yang begitu besar.
Ia sebatang kara ketika ditemukan, beberapa tetangga
berkata :
“Ia hidup sendiri..”
Sosok tahan banting yang kita hina, tertawakan, dan kita
remehkan. Ternyata sungguh besar, ia adalah orang kuat. Menghadapi semuanya
sendiri, dan tanpa mengeluh.
Sosok itu adalah Pak Taryana, dosen yang tidak pernah
absen untuk hadir di depan kelas, meskipun mahasiswanya yang hadir hanya satu
orang, ia tetap hadir dan mengajar.
Sosok itu sebatang kara; Setiap hari ia bangun dan
menyiapkan segala kebutuhannya sendiri, membuat makan, menyiapkan baju, dan
hal-hal lain yang dibutuhkannya sehari-hari.
Senyumnya indah, menutupi segala duka yang ada.
Tuhan, mengapa kau ciptakan manusia sekuat beliau untuk
hanya diremehkan? Atau justru kau ciptakan ia sebagai gamparan terhadap
keangkuhan kami?
Sangat kecil kami, jika dibandingkan dengannya.
Sekarang ini aku benarkan bahwa;
Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.
Terima kasih, kau telah
diagungkan atas kesabaranmu, sebaliknya, kami sangat remehkan di hadapanmu.
Pak Taryana, diakhir hidupmu, kau masih saja menggurui
kami, tentang sebuah kesabaran, tentang sebuah kerja keras, tentang sebuah. Kau
tak perlu menghina kami dengan kata-kata kasar atau menjatuhkam kami dengan
argumentasimu. Tetapi dengan cara kau berpulang, kami sudah tergamparkan.
Komentar
Posting Komentar