Broken Home (Cerpen)
Oleh Al-abbas Sangadji
Betapa
bahagianya memiliki keluarga bahagia yang selalu hidup dalam kesenangan,
apabila ada masalah selalu ada Ayah ataupun Ibu yang siap siaga. Dari setiap
sudut kesibukan dunia, ada kebahagiaan orang-orang yang tidak dikenal, mereka
bahagia dengan keluarga mereka masing-masing. Ada yang sedang bersenda gurau
dengan sang Ayah, ada pula yang sedang berpeluk mesra dengan sang Ibu.
Tidak halnya dengan Nur, ia adalah wanita yang hidup
serba sederhana, bahkan terkadang jauh dari itu, ia bukan hanya kesulitan
akibat masalah ekonomi, tetapi ia juga adalah seorang wanita yang mengalami broken home diusia yang cukup muda,
sejak berusia 9 tahun Ayahnya telah pergi dengan wanita lain, dan meninggalkan
dirinya dengan sang Ibu dalam kesulitan, belum lagi ia memiliki 2 adik, adik
yang pertama bernama Ezra, merupakan adik laki-laki yang cukup nakal di rumah,
ia berusia 4 tahun ketika ayahnya meninggalkannya. Selanjutnya ada si bungsu,
ia adalah adik wanita yang pendiam, namun sangat bebal dikarenakan perilaku
karas sang Ayah, sang Ayah tidak mengharapkannya lahir, sang Ayah berharap ia
mati, bahkan sang Ayah pernah memasukkan minuman keras ke mulut si bungsu, dan
berharap si bungsu meninggal, nama si bungsu adalah Laila, saat ditinggal si
Ayah ia berusia 2 tahun.
Dengan penuh kesabaran, sang Ibu dengan sabar merawat 3
anak yang belum berdosa itu. Di dalam kesulitan keluarga tidak membuat si Nur
putus asa, bahkan ia memiliki sebuah semangat hidup “broken home bukan sebuah alasan, tetapi sebuah pacuan.” Di dalam
hidup yang begitu sederhana itu, Nur memiliki tekad, ia akan membuktikan pada
sang Ayah bahwa dia bisa menggapai sebuah kesuksesan walaupun tanpa sebuah
dukungan darinya. Dirinya penuh dengan rasa semangat, sebuah dendam yang
dialurkan secara positif.
8 tahun berselang, setelah perginya sang Ayah untuk
wanita lain. Nur kian dewasa, air mata yang membasahi pipinya kini telah
berganti dengan senyum simpul yang tidak pernah berhenti, akan tetapi bukan
berarti masalahnya sudah berhenti, kini ia sudah melewati masa SMP, ia masuk
SMP Negeri yang membuatnya gratis dalam menempuh pendidikan, bahkan saat SMA
pun begitu. Bukan hanya sekedar masuk sekolah favorit, ia juga menjadi murid
berprestasi, dengan menjadi juara kelas, bahkan di luar kelas pun ia
mendapatkan prestasi.
Masalah mulai muncul kembali, saat ia tidak mulus dalam
ujian untuk masuk ke perguruan tinggi negeri, ia tidak dapat masuk negeri
idaman. Ia sangat berharap dapat masuk perguruan tinggi negeri, karena apabila
ia dapat masuk ke dalam perguruan tinggi negeri, ia dapat mengurangi
pengeluaran Ibunya, karena dua orang adiknya sekolah ditempat yang tidak
sedikit dalam mengeluarkan biaya. Kedua adiknya, Ezra dan Laila sengaja
disekolahkan di sekolah swasta, karena sang Ibu takut pergaulan kedua anaknya akan
tidak baik apabila sekolah di sekolah negeri.
Air matanya begitu deras mengalir, bola matanya memerah,
napasnya tersedu-sedu saat ia membaca pengumuman, bahwa dirinya tidak lolos
dalam ujian seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Percuma usahanya, percuma
semua prestasinya, semuanya tidak dapat membawanya kepada perguruan tinggi
negeri.
Teman-temannya, bahkan guru-guru pun membantu agar mental
si Nur kembali pulih. Agar tiada tangis yang keluar dari mata indahnya itu.
“sudah, sudah Nur,
jangan menangis lagi, ini bukanlah akhir, Tuhan hanyalah memberi sebuah cobaan,
dan teruslah percaya bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan melebih kapasitas
hambanya, percayalah sayang. Ayo senyum, dan hapus air matanya.” Kata bu
Zuraida, wali kelas Nur di kelas 12.
“ayo dong jagoan, lu aja bisa jadi juara karate yang menurut gua sebagai laki-laki itu amat sulit, tapi lu bisa jadi juara pada ajang itu, masa masalah kaya gini aja lo nyerah, lo engga kaya
jagoan yang biasa gua liat.” Kata
Fadli, berusaha menguatkan wanita ini yang sedang rapuh. Fadli adalah teman
sekelas Nur, mereka biasa bercanda-canda di kelas, saling mengisi cerita satu
sama lain, bahkan terkadang saling membantu dalam hal tugas sekolah.
Tangis itu pun berhenti, senyum simpul yang biasa di
pipinya pun kembali, ia kembali semangat. Ia tidak bolehlah putus asa, baginya
masalah yang ia hadapi sekarang belum terlalu besar jika dibandingkan dengan
orang lain di luar sana. Semangat yang hampir redup itu kembali membara,
bagaikan bara api yang dapat membakar siapapun.
Tibalah masalah yang lain timbul, Tuhan seperti terus
memberi cobaan kepada Nur, cobaan itu tidak berhenti-henti. Seperti sebuah
pepatah “mati satu, tumbuh seribu.” Namun pepatah itu tidak ke arah positif
melainkan ke arah negatif.
Kali ini, ia harus mencari dana untuk melanjutkan kuliah
yang telah menjadi cita-citanya itu. Tidak mungkin ia meminta kepada sang Ibu,
karena adiknya Ezra akan lulus sekolah dasar, dan tentunya akan mengeluarkan
biaya, ia tidak mau Ibu dalam kesulitan. Belum lagi si nakal Ezra tidak dapat
masuk ke sekolah negeri dan membuatnya harus kembali masuk ke sekolah swasta
yang tentunya akan kembali mengeluarkan biaya.
Ia sudah mendapatkan brosur tempat kuliahnya, biaya untuk
masuk perguruan swasta itu sekitar 7.200.000, uang yang tidak sedikit bagi
seorang penganggur seperti dirinya. Ia bingung harus kemana ia mencari dana
sebanyak itu. Hadirlah sebuah pikiran nekad, ia memikirkan untuk mencari
Ayahnya yang entah telah berada dimana itu. Kesana, kemari, hari-harinya terus
mencari Ayahnya, berharap sang Ayah dapat membantu pembiayaan kuliahnya itu.
Mencari dan mencari, tidak ia temukan, tidak ia dapatkan.
Air matanya kembali jatuh, dalam relung hati terdalam ia menggerutu “Tuhan,
beri aku kekuatan, untuk kali ini saja, tidak seharusnya aku menangis, aku tahu
itu, namun segala masalah yang ku hadapi begitu besar.” Dia hapus air matanya,
dengan langkah kaki yang begitu layu, ia terus mencari keberadaan sang Ayah,
menanyakan kesana dan kemari. Namun nihil usahanya.
Setelah 3 hari mencari, ia akhirnya mendapatkan alamat
sang Ayah, alamatnya nun jauh di Bogor sana. Dengan uang seadanya, dan tanpa
memberitahu sang Ibu, ia bergegas menuju alamat yang dituju. Tidak peduli
panas, tidak peduli lelah, dia terus melangkah dengan pasti, mulai dari angkot
lalu dilanjut dengan kereta. Setelah sampai ia di Bogor, ia bertanya kesana
kemari. Raganya mungkin sudah lelah, namun semangatnya tidak pernah pupus.
Bermodalkan sepercik kertas bertuliskan alamat, ia bertanya
“Permisi, saya dari
Jakarta, saya mau menanyakan alamat. Jalan Matahari, RT 002, RW 008, No 26,
atas nama bapak Oka. Apakah Ibu tahu alamat itu?” tanya kepada seorang Ibu.
“Waduh, maaf neng. Ibu
juga warga baru di sini.” Jawaban sopan dari si Ibu.
Dengan senyum manis
yang biasa ia umbar, ia tunjukkan senyum manis itu kepada sang Ibu yang tidak
dikenalnya itu semabari berkata “Tidak apa-apa bu, terima kasih, maaf ya
mengganggu.”
Ia kembali mencari alamat yang ditujunya itu, kakinya
sudah lelah, perutnya pun kelaparan meronta-ronta meminta makan, namun ia
berkata “perut, hari ini kamu harus kuat ya, aku tidak memiliki uang, dan tidak
bisa membeli makan, kali ini saja aku harap engkau mengerti.” Kembali ia
mengumbar senyum sembari mengusap-usap perutnya itu. Terus berjalan, setapak demi
setapak ia lewati, dengan kertas yang ia harapakan menjadi sebuah harapan besar
baginya. Demi cita-cita, demi angan-angan, ia rela berkorban.
Setelah hampir 2 jam mencari, ada seorang laki-laki paruh
baya memberikan informasi, bahwa alamat yang ia tuju tidak jauh dari situ,
dengan semangat yang kembali terbakar. Ia berlari mengikuti instruksi sang
laki-laki paruh baya yang tidak dikenalnya itu.
Sampailah dia pada tempat yang dituju, ditempat sang Ayah
yang pernah menjaganya ketika kecil. Dengan sopan yang mengetuk pintu rumah
itu, keluarlah seorang wanita yang sedang menggendong anak, dengan nada yang
amat sangat sopan ia bertanya “Apakah ini alamat dari bapak Oka?” tidak lupa ia
umbar senyum seperti biasanya. Wanita itu pun kembali bertanya “Memang ini
siapa ya?” kata si wanita sembari mengeluarkan wajah jutek. “Perkenalkan bu,
saya Nur anak dari bapak Oka, saya datang dari Jakarta untuk bertemu dengan
bapak Oka.” Amat sopan anak itu, namun berbalik dengan sikap si Ibu, ia
menghardik Nur “Mau ngapain lo ke sini?
Mau ganggu suami orang!?”, kembali si Nur mengeluarkan sikap rendah
hatinya, ia kembali sopan “Tidak kok
bu, saya hanya ingin sedikit berbincang dengan bapak Oka.”, “halah, paling lo sama kaya emak lo, bisanya
cuma gangguin suami orang aja.”.
Hatinya
hancur berkeping-keping, kupingnya panas, bahkan emosi pun juga hadir pada saat
itu, ingin rasanya ia marah pada wanita yang ada dihadapannya itu. Namun
kelembutan hatinya membuatnya terus bersabar, ia tahan air matanya yang ingin
keluar. Segala emosi diri bercampur, disatu sisi ia bahagia dapat menemukan
alamat Ayahnya, disis yang lain ia terluka atas ucapan dari suami baru Ayahnya.
Tidak
lama, setelah terjadi keributan yang dibuat oleh wanita yang menggendo anak
tersebut keluarlah laki-laki yang tentunya tidak asing di mata Nur, dengan spontan ia peluk Ayahnya itu. Deras
keluar air mata dari matanya, capek
yang dipikul seharian itu tidak sia-sia, karena apa yang sedang ia cari sedang
berada didekapannya.
“Ayah, ini aku anak
pertamamu, kemana saja dirimu Ayah?” kata si nur yang sedang dalam bahagianya.
“Ah, apa-apaan si ini? Lu siapa? Gua gak kenal sama lu!” Ayahnya pun
mendorong si Nur.
“Ya ampun Ayah, ini aku
Nur, aku datang dari Jakarta untuk bertemu dengan mu!” raut wajah gembira yang
tadinya hadir, kembali sirna karena tingkah yang dilakukan oleh sang Ayah
kepada Nur.
“Gua gak kenal sama lu, gua gak mau ngeliat muka lu di sini, pergi!!”
Ayahnya pun membentak dengan nada yang begitu keras.
“Tapi Ayah, biarkanlah
aku masuk sejenak...”
“Gua bilang apa tadi!? Pergi ya pergi!!!” kembali sang Ayah
berteriak-riak, tidak tahu malu ia. Para tetangga kanan dan kiri pun
berserakkan keluar.
Dengan hati sangat amat pedih ia berlari menuju stasiun,
dengan sedih yang memuncak, juga amarah yang tak terbendung, ia terus berlari.
Meski air mata terus membanjiri setiap langkahnya. Amat teriris hatinya hari
itu, dengan tenaga yang hampir habis dan juga dengan pakaian yang hampir kumal,
ia pulang menuju rumah.
Pada hari itu, ia bertemu sang Ayah, seorang Ayah yang seharusnya
dapat melindunginya, justru sebaliknya. Ia bertidank kasar, sepertinya ia lupa
bahwa yang ia hadapi adalah anaknya sendiri, anak yang pernah ia harapkan
hadirnya, justru sekarang diusir dan juga diperlakukan kasar.
Di dalam perjalanan yang menuju rumah, ia terus
memikirkan dari mana ia akan mendapatkan uang tambahan untuk melanjutkan
kuliah. Termenung ia dibuatnya, tidak bisa ia menangis karena ia tengah dalam
keramaian. Ia masih tidak menyangka bawasanya, harapan yang paling ia harapakan
berujung pada sakit hati yang luar biasa pedih.
Dihari berikutnya, ia tidak ingin terus menepi bersama
pedih yang menyayat hati, semangatnya tidak padam oleh satu benturan, semangat
untuk menjadi sukses terus membara dalam sanubari wanita manis itu. Dengan kendaraan
sepeda motor yang ia punya, dan dengan sepucuk ijazah yang bawa, ia
berputar-putar diantara kerasnya Jakarta, panas pun tidak memberi ampun. Namun
bara api yang membara di hatinya mengalahkan itu semua, dari toko satu ke toko
yang lain ia mencoba mencari pekerjaan untuk dirinya.
Akhirnya, ada satu toko yang menerima dirinya, namun gaji
bulanannya masih amat kurang, terlebih hari pembayaran masuk kuliah tinggal 2
bulan lagi, di tempat kerjanya itu ia hanya mendapatkan gaji sebesar
1,200,000,00. Daripada tidak mendapatkan hasil ia terima kerja tersebut, tidak
sampai disitu, ia juga mencari sambilan dengan mendaftarkan diri ke Ojek
Online, di toko tersebut ia hanya bekerja sampai siang hari dan sore hari yang
berkeliling dengan motornya untuk mencari penumpang yang dengan sedia untuk
diantarkan olehnya.
Setiap hari, tanpa lelah wanita itu terus bekerja
disetiap harinya. Kobar apinya terus menyala, menolak untuk menyerah, karena ia
sadar bahwa menyerah bukanlah sebuah pilihan. Kesalahan dari Nur adalah tidak
pernah bilang kepada Ibu bahwa ia bekerja untuk mencari biaya untuk kuliah, dan
membuat sang Ibu bingung dibuatnya. Bertanyalah ia
“Kamu keluar rumah
terus nak, kamu itu ngapain si?” tanya
si Ibu.
“Aku hanya mencari
hiburan di luar kok bu, gak masalahkan?” dengan amat kuat remaja itu tersenyum.
“Ya sudah, Ibu hanya
bisa berdoa buat kamu nak.” Balas si Ibu, yang tentunya memiliki senyum manis
seperti sang anak.
Setelah 2 bulan banting tulang, uang yang terkumpulkan
hanya sebesar 3,200,000,00. Dengan hati yang masih semangat untuk merasih
sebuah cita-cita ia mengadu kepada sang Ibu, perihal beneran.
“Ibu, selama ini aku
berbohong, aku tidaklah bermain-main, aku mencari uang untuk biaya kuliah, aku
tidak ingin membebani dirimu yang sudah amat berat itu, namun satu hal Ibu, aku
hanya dapat mengumpulkan 3,200,000. Sedangkan biaya untuk masuk kuliah sebesar
7,200,000. Aku bingung akan mengadu kemana lagi, aku pernah datang ke rumah
Ayah, namun usir yang kudapatkan. Apakah Ibu dapat membantuku? Maafkan aku ibu,
telah membuat bebanmu bertambah.” Tersedu-sedu ia menceritakan itu, tangisannya
pun kembali mengiasi.
Tanpa pikir panjang,
akhirnya sayang Ibu memeluk si Anak, terharu ia.
“Kamu itu anakku, darah
dagingku, darahku mengalir di dalam tubuhmu, biarkan jua deritamu mengalir
menjadi bagian dari deritaku, maafkan aku anakmu. Untuk saat ini, Ibu akan
mencari pinjaman, dan selebihnya nanti Ibu akan berusaha bekerja keras untukmu
wahai anakku.” Dua orang srikandi tengah dalam renungan sendu, emosi di dalam
diri mereka pun bermacam-macam, antara terharu, sedih, dan tentunya semangat.
Akhirnya Nur pun kuliah dengan biaya pinjaman yang
dicarikan oleh Ibunya, dan untuk kelanjutan biaya semester berikutnya, ia
memutuskan untuk diam-diam mencari tambahan dana, ia selalu menyempatkan diri
untuk mengojek online. Terkadang, Ibunya menitipakan jajanan yang bisa Nur
jajahkan disekitaran kampus. Semangat sekali dua srikandi ini mencari
penghidupan. Bahkan saat liburan semester Nur bukan hanya bekerja sebagai Ojek
online, ia juga mencari pekerjaan tambahan lainnya.
Tahun pertama, berhasil mereka lewati bersama, begitu pun
tahun kedua yang berhasil mereka lewati dengan semangat yang terus
menggebu-gebu. Sampai akhirnya di tahun ketiga, mungkin karena terlalu lelah
akan pekerjaan sampai makan yang dimakan oleh Ibunya Nur pun asal-asalan, membuat sang Ibu terkena
penyakit yang amat parah, yaitu stroke.
Pada saat itu, kembali Nur mendapatkan masalah yang cukup berat, kuliahnya pun
belum usai, ia harus mencari dana untuk biaya pengobatan yang Ibu. Menangis ia,
deras air matanya. Dalam lubuk hatinya, ia menggerutu “Wahai Tuhan, apalagi
ini? Masih belum cukupkah perjuanganku bagimu!?”
Namun kembali, ia hapuskan air mata itu. Sementara ia
carikan pinjaman untuk biaya pengobatan sang Ibu, untuk biaya kuliah, ia
bekerja 2x lipat dari biasanya. Bukan hanya masalah kuliah dan pengobatan sang
Ibu, Nur juga harus membiayai kedua adiknya. Melihat kerja yang mati-matian
dari Nur, teman-teman kampus pun mulai bertanya tentang mengapa ia sangat
bekerja keras.
“lu kenapa si kerja keras banget, santai aja si.”
Lalu, akhirnya Nur
menceritakan semua masalah yang menimpa dirinya, bahkan teman-temannya pun iba
akan keadaaan.
Masuk saatnya ia harus membayar untuk semester akhir,
uangnya sudah cukup. Ia datang ke kampus untuk membayarkan uang tersebut, namun
diluar dugaannya. Biaya tugakan kampusnya itu, telah lunas terbayarkan. Usut
punya usut, ternyata teman-teman kampusnya bukan hanya iba, namun juga mereka
berpatungan untuk membantu kesusahan temannya.
“Tuhan, sejak awal aku
percaya, bahwa segala masalah yang engkau berikan tidak akan melebihi kapasitas
diriku. Terima kasih wahai Tuhan.” Ia begitu terharu akan apa yang terjadi.
Tetes air mata kembali membanjiri matanya.
Tidak sampai disitu, saat
ia masuk kuliah kembali ia amat berterima kasih dengan teman-temannya. Ia tidak
bisa membalas kebaikan itu
Berselanglah 6 bulan berikutnya, akhirnya saat yang
ditunggu pun tiba, Nur lulus dengan nilai sempura, ia amat bahagia. Dengan amat
bahagia ia pulang menuju ke rumah sesampainya di sana, ia peluk sang Ibu yang
tidak berdaya di kursi roda.
“Ibu, terima kasih atas
semua yang sudah engkau berikan, semua tidak bisa tergantikan Ibu, maafkan atas
semua kesalahanku, aku membawa kabar gembiran untuk dirimu, wahai Ibu.” Ibu
hanya tersenyum di kursi roda itu. “Hari ini aku dinyatakan lulus Ibu, kerja
keras kita selama ini tidak sia-sia Ibu.” Air mata pun membanjiri kedua mata
srikandi yang tidak mudah menyerah itu. Mereka terisak-isak.
Pada hari pengukuhan Wisuda, Nur dengan amat sangat
bangga, mendorong kursi roda sang Ibu, dua srikandi itu berbahagia, kerja keras
mereka tidak sia-sia. Tangis haru, dua srikandi begitu deras keluar. “Tuhan
memberikan jalan kepada siapapun yang hendak mencari jalan keluar.”
Komentar
Posting Komentar