Azmi dan Azima (Cerpen)

Oleh Al-abbas Sangadji
Di sebuah desa yang begitu terpelosok, dikenal-lah seseorang lelaki berbadan kecil, berkulit hitam, rambutnya begitu berantakan, sama seperti hidupnya yang begitu amat menyedihkan, setelah sang Ayah si pengembala kambing meninggal 2 tahun lalu, kini sang Ibu menyusul sang Ayah, meninggalkan ia dengan sang adik. Seperti jatuh dan ditimpa tangga lalu digigit anjing, lelaki itu penuh dengan ‘kekerasan hidup’, namun ia tidak bersedih atau pun kecewa, ia berpendapat bahwa ini adalah pujian Tuhan atas dirinya.
            “Tidak ada hamba yang diberi ujian melampaui batasannya. Dan dirinya sudah melampaui batas-batas hamba yang lainnya.”
            Ia adalah Azmi Anggara, lelaki kumal penuh derita, bersama sang adik Azima Dwi, hidup-lah mereka dibawah kepahitan hidup, 2 anak yatim piatu seumur jagung yang tidak mendapatkan belaian orang tua, merana nasibnya, tangis bukan-lah pirahal satu atau pun dua kali, namun setiap hari mereka menangis. Bahkan seperti meminum obat, sehari tiga kali mereka meneteskan air mata suci dari bola mata indahnya. Namun setiap tetes yang mengalir dibasuh oleh mereka.
            Bagi mereka, tidak boleh ada kata menyerah, karena dunia hanya milik sang juara yang diseleksi oleh Tuhan melalui seleksi alam.
            Pada saat sang Ibu meninggal, Azmi berumur 17 tahun, sedangkan Azima berumur 13 tahun.
            Tidak pikir panjang, Azmi yang saat itu sedang berada di bangku kelas 2 SMA pun memutuskan untuk keluar dari sekolahnya, dan berdedikasi untuk menafkahi adiknya. Sangat amat disayangkan di desa yang penuh keterbatasan tidak ada sedikit pun batuan dari pemerintah daerah, apalagi pemerintah pusat, sudah melarat makin melarat.
            Meski pun guru-gurunya sudah membujuk Azmi untuk tetap sekolah, ia tetap pada pendirinya untuk menafkahi adiknya. Seperti kakak sebagaimana semestinya, ia mengorbankan dirinya untuk sang adik.
            Memang-lah bukan perihal mudah baginya, banyak sekali yang membuatnya hancur akan keadaan, namun jiwa kuatnya tidak begitu mudah runtuh.
            Semenjak Ayahnya meninggalkannya, Azmi-lah yang menggantikan pekerjaan sang Ayah, dahulu ia mengembala kambing untuk membantu sang Ibu, kini ia mengembala kambing untuk menghidupi adiknya, bila ia teringat dengan masa yang sudah berlalu, hatinya teriris, tetes-tetes air matanya membasahi baju kumalnya. Baju kumal peninggalan sang Ayah. Terlihat jelas, terdapat sungai-sungai kesedihan yang terukir di pipi lelaki kuat itu.
            Dengan mengembala kambing warga setempat, ia mendapatkan upah se-ikhlasnya, ada yang memberinya makan, tentu untuknya dan adiknya, tetapi juga ada yang memberikannya upah berupa uang, yang tentu tidak digunakannya untuk menonton bioskop, atau pun untuk mengencani pacar, namun ia maksimalkan uang tersebut untuk pembiayaan kebutuhan sehari-hari, dan juga untuk pembiayaan sekolah adiknya.
            Dalam lubuk hati terdalamnya, ia amat ikhlas atas apa yang terjadi terhadap dirinya, ia pun berkata kecil, “Bukan-lah masalah untukku jika tidak mendapatkan sebuah pendidikan yang layak, tetapi untukmu adikku, nyawa pun aku berikan asalkan kau mendapatkan sebuah pendidikan yang layak. Dan menjadi manusia yang lebih baik serta berguna, tidak seperti kakakmu yang hanya bisa mengembala kambing.” Senyum pun keluar dari wajahnya, adiknya yang sedang tertidur pulas di sebelahnya pun dipeluk erat-erat, agar hawa dingin tidak berani mendekap adiknya.
            Tugas Azmi bukan-lah hanya menjadi seorang kakak, ia pun menjadi seorang Ayah dan Ibu untuk adiknya, tentu bukan-lah pekara mudah untuk itu, setiap harinya ia harus bekerja, mencuci pakaian, membereskan rumah, memasak makanan dan menemani belajar serta tidur adiknya.
            Ia memanglah lelaki, tetapi untuk adiknya, nalurinya dapat berubah menjadi wanita.
            Lika-liku kehidupan dilalui tanpa penyesalan, keterbatasan adalah pacuan untuk menjadi lebih baik. Teman-teman bangku sekolahnya pun sudah banyak yang lulus dari bangku SMA, ada yang melanjuti sekolah diluar kota, ada pula yang bekerja di desa dan ada pula yang merantau keluar kota. Ia tidak memperdulikan teman-temannya yang telah mendapatkan nasib yang lebih baik darinya, yang ia pikirkan hanya : Adiknya, adiknya, adiknya.
            Tidak peduli tertinggal oleh zaman, ia tidak memperdulikan mereka yang mencela bahwa dirinya hanya-lah “lelaki kampung yang kelak tidak akan memiliki apa-apa.”
            Hinaan-sehina apapun itu dibuatnya menjadi pujian seindah-indahnya di dalam hatinya, kini tidak ada tangis setetes pun, tersenyum lebar adalah kebiasaannya. Walaupun itu untuk menutupi rasa sakit terdalam.
            Kini kerja Azmi lebih keras, karena tubuhnya tidak-lah lagi serapuh dahulu, ia sudah menjadi lelaki dewasa penuh tanggung jawab.
            Pagi hari, ia terbangun untuk menyiapkan sarapan sang adik, tidak hanya itu, ia pun merapihkan rumah, dan membangunkan adiknya, dengan lembut dan kasih sayang ia membangunkan adiknya itu.
            “Adikku Azima bangun dek, sudah pagi tuh, nanti kamu terlambat ke sekolah lho.” Tidak sulit untuknya membangunkan sang adik, karena sang adik begitu menuruti apa yang dikatakan oleh sang kakak.
            “Iya ka, aku sudah bangun kok.” Lalu Azima pun bangkit dari tempat tidur yang hanya beralaskan sebuah tikar kumuh yang sudah begitu tidak layak. Lalu ia membantu kakaknya merapihkan tempat dimana mereka tidur.
            Setelah adiknya pergi menuju sekolah, baru Azmi ke rumah warga-warga yang ingin menitipkan hewan ternaknya, dari rumah satu ke rumah satunya. Tubuh yang lelah bukan-lah sebuah alasan untuk lelaki kuat seperti dirinya.
            Sampai menjelang sore hari baru-lah ia pulang untuk membuatkan makanan untuk sang adik, agar sang adik tidak-lah kelaparan, setelah itu ia tidak beristirahat, ia langsung berangkat kembali menjemput rezeki yang kemungkinan menjadi jodohnya.
            Terkadang ia menjadi tukang cuci piring di sebuah kedai makan, kadang juga menjadi kuli panggul di pasar.
            Apapun yang dapat menghasilkan uang tidak-lah ia sia-siakan, tidak peduli apa perkataan orang. Karena apabila kita hidup dengan gengsi di dunia ini, maka tidak akan ada makanan untuk hari berikutnya.
            Baju lesunya pun dipenuhi dengan keringat, badannya pun penuh dengan rasa lelah.
            Tubuhnya tidak-lah lagi kurus seperti sebelumnya, karena pekerjaan yang monoton membuat tubuhnya pun tumbuh menjadi tegap berisi.
            Sepulangnya ia kerja, ia tidak-lah langsung beristirahat, ia hanya membuat teh, dan mandi, lalu ia menemani adiknya untuk belajar.
            Di rumah yang jauh dari kata sederhana itu, tidak ada yang namanya kompor, yang ada hanyalah sebuah tungku, tidak ada sebuah lampu yang ada hanya sebuah lampu petromaks, maka dari itu, setiap pulang bekerja ia sediakan waktu untuk membeli minyak tanah, guna memasak dengan tungku dan guna membuat penerangan di rumah.
            Hidup mereka  jauh dari kata sederhana, namun perjuangan mereka lebih dari kata luar biasa.
            Di bawah petromaks Azmi menemani adiknya untuk belajar, apabila Azima hendak tidak mengerti, ia akan mengambil alih untuk menerangkan. Bertambahlah satu lagi peran untuk seorang Azmi, yaitu seorang guru.
            Sifat Azmi seolah-olah memanjakan Azima, bukanlah itu maksud dari Azmi, namun yang ia inginkan adalah adiknya dapat fokus tanpa memikirkan apapun, agar ia mendapatkan yang terbaik di sekolah, dan pikirannya pun tidak terbagi menjadi dua.
            Namun, semuanya berubah, layaknya senja nun indah di jauh sana, yang menjadi badai yang begitu buruk, awan-awan yang menguning indah berubah menjadi awan hitam penuh kemarahan.
            Azima yang tengah dibuat terkejut karena terjadi keributan yang memanggil-manggil namanya secara panik.
            “Azima.... Azimaaaaaaaa....” teriak laki-laki itu. Sedangkan Azima mencari sumber suara itu.
            Guru yang berada di dalam kelas pun keluar untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.
            Ternyata pria itu adalah pria yang mempercayai ternaknya untuk digembalai oleh Azmi. Usut punya usut, sang pria tersebut menemukan Azmi tergeletak lemah tidak berdaya. Badannya ringkuh, wajahnya pucat, terkulai lemah.
            “Azimaaaaaaa, Kakakmu Azmi.....” terbata-bata ia karena panik yang begitu melanda jiwanya.
            “Ada apa dengan kakak Azmi tuan?” pun begitu dengan Azima yang terbawa menjadi panik.
            “Kakak-mu itu pingsan, mungkin terlalu letih...” napas yang memburu pun keluar dari tubuh tuan tersebut.
            “Dimana ia sekarang tuaannn..??” wajah Azima berubah menjadi begitu khawatir. Sedih, bingung, panik menjadi satu.
            “Aku dan warga lainnya sudah membawanya ke puskesmas....” belum lelaki itu menyelesaikan penjelasan Azima telah lari begitu cepat. Bahkan ia melupakan tas, serta tidak berpamitan dengan gurunya.
            Larinya begitu tidak mengindahkan hal lainnya, tidak peduli dengan apapun yang ada di jalan. Ia berlari kencang menuju puskesmas yang dimaksud oleh lelaki itu.
            Sampai-lah ia di tempat yang dimaksud, dicari-lah kakaknya di setiap ruang yang ada, napasnya begitu sesak, perbuatannya membuat seisi puskesmas panik.
            “Tenang, adik ini sedang mencari siapa? Jangan membuat pasien yang membutuhkan ketenangan menjadi terganggu, atur napasnya..”
            Azima pun mengatur napasnya, pun membuat dirinya tenang.
            “Aku mencari Azmi kakak-ku....” kata Azima yang masih terbata-bata akibat panik yang melanda dirinya.
            “Nah, seharusnya jangan panik, mari ikut saya..”
            “...............”
            Azima pun mengikuti perawat tersebut menuju ruangan tempat dimana kakaknya dirawat.
            Dibuka-lah satu pintu, tanpa pikir panjang Azima pun berlari untuk memeluk sang kakak, yang tentunya masih dalam keadaan terkulai lemas tidak berdaya.
            “Kakak kenapa...?” tetes air mata pun menetes membasah baju Azmi, bercampurlah keringat dan air mata milik kakak beradik itu.
            “Lho, kamu kenapa ke sini dek..? Kakak hanya kelelahan biasa kok. Nakal ya kamu berani bolos sekolah..” dalam kondisi seperti itu Azmi masih memikirkan pendidikan adiknya, namun sebaliknya sang adik memikirkan kondisi kakaknya.
            “Aku tidak bisa fokus sekolah, apabila mendengar kabar bahwa kakak sedang sakit seperti ini, mengapa kakak sanggup menjagaku, merawatku dengan baik, akan tetapi tidak bisa untuk menjaga dan merawat diri kakak sendiri...?” tangis pun menjadi lebih besar, namun sang kakak mencoba untuk menenangkan. Dengan lembut ia berkata :
            “Setelah kepergian Ayah, kakak mencoba untuk mengabdi kepada Ibu, namun Ibu pun menyusul Ayah ke surga, tinggal-lah kau di sini, kamu adalah harta satu-satunya kakak, yang akan kakak jaga walau nyawa menjadi taruhannya, itu-lah tugas seorang kakak, yaitu membuat adiknya lebih baik dari dirinya. Jangan teteskan air matamu lagi adikku, bagiku air matamu bagaikan emas yang begitu berharga..”
            Tangis pun mulai reda, Azima memeluk erat kakaknya, ia tidak bisa berkata sepata kata pun, mulutnya terbungkam atas kebaikkan hati kakaknya.
            “Terima kasih.....” hati kecil itu berkata pelan, bahkan angin pun tidak dapat menangkapnya.
            Azmi pun tersenyum, lalu datang-lah dokter untuk memeriksa keadaan Azmi.
            “Maaf ya pak, saya periksa dulu....” kata dokter tersebut.
            “Iya dok, Silahkan...”
            “Sepertinya Bapak Azmi terlalu kelelahan, dan mengidap penyakit tipes, dibutuhkan istirahat untuk 2 minggu ke depan....”
            “2 minggu? Besok pun saya sudah sehat dok, kalau saya istirahat siapa yang akan membiayai adik saya untuk makan?”
            “Kakak pikirkan keadaan kakak dahulu, aku tidak apa-apa kok ka..”
            “Tapi dek, kamu itu adalah tanggung jawab kakak...”
            “Pun begitu sebaliknya bukan? Kakak juga tanggung jawab aku.”
Dari perbincangan ini kita dapat mempelajari, mengapa Tuhan menciptakan dua tangan, dua mata, dua telinga, dan dua kaki. Agar apabila salah satunya tidak berfungsi sebagaimana semestinya, yang satu diantaranya akan menjalani fungsi itu dan menggantikannya untuk sementara waktu.
Azima pun kini memikirkan cara untuk membayar perawatan yang ada. Melihat kegundah adiknya itu, Azmi pun memanggilnya.
“Ada apa dengan dirimu adikk...?”
“Bukan apa-apa kok ka..”
“Masalah biaya? Kakak ada tabungan kok..”
“Tabungan? Kenapa kakak tidak pernah cerita kepadaku?”
“Sebenarnya kakak tidak ingin jika tabungan ini terpakai untuk pembiayaan kehidupan sehari-hari, karena kakak telah berjanji bahwa uang ini untuk kuliahmu adikku...”
“Astaga ka, sudah begitu banyak hutangku kepada kakak..”
“Janji adalah janji, aku telah berjanji untuk memberikan segala hal terbaik untukmu adikku.”
Kembali haru meliputi hati Azima, kakaknya telah banyak berkorban untuknya, sedangkan dirinya hanya merasakan kenikmatan yang dibuat kakaknya. Kakaknya telah memperlakukannya seperti tuan putri-putri kerajaan.
Ia tidak bisa membalas segala kebaikkan sang kakak kepadanya, hanya peluk dan ucapan terima kasih yang dapat ia persembahkan untuk sang kakak.
Masalah-masalah kecil yang coba untuk menghadang kedua kakak beradik ini pun kian terlewati, kerja keras Azmi pun membuahkan hasil yang begitu manis.
Namun ia tidak-lah mengharapkan imbalan dari adiknya, segala yang ia lakukan semata-mata buah pengabdian seorang kakak terhadap adiknya. Tiba-lah masa kelulusan Azima dari bangku SMA, semangat dari kakaknya pun tertular kepada sang adik, jadi-lah ia menjadi murid terbaik dari sekolahnya itu.
“Kepada adinda Azima Dwi, murid kebanggaan dari sekolah kami, kami persilahkan untuk maju ke depan, sebagai murid terbaik..”
Dengan bangga, Azima berjalan menuju panggung sederhana itu, senyum begitu lebar dari pipinya, dari bangku hadirin orang tua, Azmi pun berdiri dan memberi tepuk tangan.
“Dia adikku, dia adikku, dia adikku...” dengan bangga ia memamerkan adiknya kepada hadirin di sekitarnya.
Di atas panggung, Azima pun dipersilahkan untuk memberi sambutan, awal mula sambutan terdengar begitu biasa, hingga .....
“Kepada kakakku, Azmi Anggara, tentu terima kasih tidak akan cukup untuk segala pengorbanan yang engkau lakukan, dengan dua buah tanganmu itu, kau mampu menopang segala kebutuhannyaku, tanpa pernah mengeluh. Meski pun terkadang aku menyebalkan, dirimu tetap sabar, kau rela menjadi terbelakang dan membiarkan diriku berada sedikit depanmu, namun setinggi apapun pendidikanku kelak, semua tidak-lah berguna apabila kau tidak ada di sampingku. Seperti yang pernah engkau katakan, bahwa aku adalah harta bagimu, begitu pun denganku wahai kakakku, kau adalah harta paling berharga dalam hidupku. Terima kasih, Azmi Anggara, kakakku.”
Azmi pun terdiam, lalu Azima pun berlari dari panggung, untuk menuju Azmi, hadirin yang menghadiri acara itu pun dibuat keheranan. Dipeluklah dengan erat Azmi oleh adiknya Azima, hadirin pun berdiri, tidak lama tepuk tangan pun terdengar.
Tangis haru kedua kakak beradik itu pun jatuh, pun begitu dengan mereka para hadirin. Tepuk tangan, tangis haru, tersenyum menjadi satu. Mereka bangga kepada kakak beradik tersebut.
Sekali lagi, Azima berkata :

“Kakak, Terima kasih... Kakakku Azmi..”

Komentar

Postingan Populer