Aiza
Adalah Aiza namanya,
Aiza memiliki arti; perkasa, dihormati,
serta mulia.
Entah, kalian akan menggambarkannya sebagai Aiza yang
perkasa, Aiza yang dihormati atau Aiza yang dimuliakan. Aiza, seorang anak remaja yang enggan mendengarkan
nasihat sang ayah. Hingga akhirnya ia dikeluarkan dari rumahnya karena sikap
membangkangnya.
Baginya,
lebih baik menjadi arang karena melawan, ketimbang harus menjadi berlian namun
terus diam. Sikapnya begitu keras kepada apapun yang dianggapnya tidak
sejalan-entah amarah, atau sekedar kritikan akan selalu ia keluarkan dari
mulutnya pada apapun itu yang tak sejalan baginya.
Meskipun
ia paling membangkang kepada sang ayah, ia pun tak segan-segan mengkritik
saudara-saudara kandungnya.
Aiza
adalah seorang yang dapat dikatakan ‘pintar mengeritik’ namun sangat enggan
dikritik. Bila ia dikritik, akan dilawannya sampai sang lawan tak dapat
melawan.
Sang ibu selalu memberikan keleluasaan kepada Aiza atas dirinya, dan berpesan
untuk terus bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya, sikap sang ibu pun
selalu membikin Aiza jatuh hati kepada sang ibu.
Kini
ia memegang apa yang dikatakan sang ibu; “Nak, kamu bebas melakukan apapun itu,
namun satu hal nak; bertanggung jawablah atas apa yang kau perbuat.”
*
Pada saat yang seharusnya menggembirakan bagi Aiza,
saat dimana ia lulus dari bangku SMA yang sudah 3 tahun ditempuhnya.
“Aiza,
ayah mau bicara..” Kata ayah.
“Ya,
ada apa?” Aiza tidak langsung bangkit dan meng-iyakan.
“Kamu
tuh sudah dewasa bersifatlah bijak, sedikit lebih hormat kepada orang tuamu,
mari ikut ayah, kita ke ruang tv sekarang. Ada yang ingin ayah bicarakan!” Nada
bicara sang ayah terlihat marah.
*
Di ruang tv mereka
duduk berhadapan, nampak akan ada perbincangan serius dari sang ayah.
“Aiza, ayahmu ini adalah lulusan ekonomi..” Ayah membuka
perbincangan.
“Lantas?” Aiza mencoba untuk menanggapi.
“Bagaimana jika kau melanjutkan untuk masuk ke Fakultas
Ekonomi, agar ada penerus ayah.”
“Ekonomi?”
“Iya, Ekonomi, jika kamu menjadi seorang lulusan ekonomi,
kamu bisa mendapatkan pekerjaan yang cukup menjanjikan...”
“Ayah, sedikit pun tidak mengurangi rasa hormatku padamu,
bukan aku tidak ingin menurutimu untuk menjadi orang ekonomi, akan tetapi aku
memiliki jalanku sendiri...”
“Ayahmu ini sudah merasakan pahitnya hidup, kamu harusnya
mendengarkan nasihat ayahmu..”
“Sedikit pun aku tidak ingin menghina pengalaman hidupmu,
Ayah. Aku terima dengan lapang dada nasihatmu itu, namun sekali lagi, aku
memiliki jalan hidupku sendiri..”
“Oh, sudah bisa berjalan sendiri rupanya?”
“Bukan begitu..”
“Sudah bisa hidup tanpa biayaku?”
“Tidak, tidak. Bukan maksudku seperti itu..”
“Lantas apa maksudmu?”
“Ayah, kelak aku melanjutkan sekolahku bukan semata-mata
untuk mencari pekerjaan dengan mudah atau pun mendapatkan pekerjaan yang
menjanjikan. Kelak aku meneruskan sekolahku karena aku ingin mengembangkan
diri....”
“Apa? Mengembangkan diri? Kamu pikir dengan begitu kamu
akan mendapatkan makan? Tidak, sudahlah, dengarkan ayahmu...”
“Tidak, tidak. Kali ini tidak, ini adalah masa depanku,
masa depan yang akan menentukan bahagia atau tidaknya aku..”
“Bahagia? Dengan menjadi orang ekonomi, kamu akan
bahagia, kamu akan kaya raya!!”
“Tidak salah apa yang ayah katakan, akan tetapi, mereka
yang sukses dibidang ekonomi adalah mereka yang menguasai bidang tersebut,
sedangkan aku? Tidak..”
“Lantas apa yang kau pilih nantinya?”
“Masuk Fakultas Sastra Bahasa Indonesia..” belum selesai
ia berargumentasi, Sang ayah memotongnya.
“Apa? Sastra? Tinggi-tinggi kau bersekolah, hanya ingin
menjadi penyair? Atau pujangga yang tidak memiliki kekayaan..”
“Ayah, kau adalah terpelajar, mengapa kau tidakadil
sedari dalam pikiran, inilah yang membikin dirimu angkuh akan ketidaktahuan..”
“Mau kau mengajariku?”
“Hidup ini terlalu indah, yang membikinnya tidak indah
adalah hasrat manusia-manusia yang ingin menjadi kaya sepertimu..”
“Apa katamu? Ingat, uangkulah yang membiayaimu!!”
“Ayah, biarlah aku hidup dalam kebahagiaan, karena
kekayaan belum tentu berakhir bahagia untukku..”
“Baiklah, kau boleh memilih apa yang kau suka. TAPI,
jangan sekali-sekali kau meminta uang untuk biaya kuliahmu, kau yang
menghendaki atas pilihanmu, maka bertanggung jawablah akan hal itu.” Perkata
ibu diulang sang ayah, namun ke arah yang lebih negatif.
“Rupanya kau ingin lepas tanggung jawab atas aku, aku ini
anakmu, tuan...”
“APA KATAMU?”
Kembali
kalimat sang ibu yang terniang-niang di telinga Aiza membikinnya mengambil
keputusan untuk angkat kaki dari singgah sana sang ayah, untuk berkelana di
jalan terjal-ia sanggup untuk bertanggung jawab atas apapun yang ia lakukan.
“Angkat
kakimu dari rumahku!!” Gusar sang ayah.
“Baik,
saya akan angkat kaki saya, dan pergi menjauhi diktator sepertimu!”
“Apa
katamu? Dasar kurang ajar..”
“Percayalah,
siapapun yang dibikin menjadi takut akan melawan!”
Tampar pun hinggap di
wajah Aiza, membikin wajahnya menjadi merah karena telapak tangan kasar sang
Ayah.
“Sudahlah pak, anakmu ini sudah besar, dia sudah dapat
bertanggung jawab atas apapun keinginannya.” Sang ibu membela.
“Hendak kau membela anak kurang ajar ini?”
“Bukan hendak membela..”
“Sudahlah, kalian memang sudah membikin aku muak..”
Bersama tangis yang bertetesan, Aiza merapikan baju-baju
yang perlu dibawa dalam jalan menuju keberani.
Sebelum keluar dari
pintu rumah, dicarinya sang Ibu, dipeluknya sang Ibu.
Rintik tangis pun berjatuhan, keberanian yang harus
diawali dengan kesedihan.
“Nak, jaga dirimu..”
“Tenang bu, akan aku jaga sebaik-baiknya diriku..”
*
Malam hari, ketika
semua tengah tertidur, Aiza melarikan diri.
Lepas
ia dari jeratan diktator, merasakan merdeka atas apa yang sudah
diperjuangkannya. Dirayakannya dengan begitu sederhana.
Menarik napas sedalam-dalamnya dan berkata “Saya
MERDEKA!!”
Langkah pun melaju cepat, meninggalkan singgah sana raja,
dan pergi sembari membuang label “Tuan Putri” dalam dirinya.
Komentar
Posting Komentar