Suatu Negeri


Semua bermula dari negeri kecil yang makmur, segala pangan tersediakan. Entah buah, ataupun sayuran, berserakan di mana-mana. Panen para taninya bahkan melampaui target.

Bukan hanya itu, negeri tersebut juga mengirimkan hasil panen mereka kepada negeri yang kekurangan pangan. Kekayaan mereka tak tertandingi, banyak sarjana-sarjana pertanian pun datang untuk belajar di negeri itu.

Di negeri yang menjunjung tinggi kebersatuan, di mana para petaninya saling membantu bila perlu. tidak ada kata persaingan yang ada hanya saling menyatu untuk negeri.

*

Tahun-tahun berlalu, lahan-lahan pertanian di negeri tersebut kian sempit, karena kian tahun jumlah penduduk selalu meningkat tajam, hingga tanah-tanah tani diperjual-belikan untuk pembangunan rumah.

Negeri yang terkenal akan kepiawaiannya dalam mengurus pertanian kian digerogoti zaman. Lambat atau cepat, tanah-tanah untuk bertani kian sulit. Kesalahan mereka para tetua tani adalah lupa mengajarkan penerus negeri untuk menjadi petani. Karena tanpa adanya petani, entah suatu negeri harus makan apa.

Para penerus negeri tersebut kian sibuk membangun negeri. Gedung-gedung tinggi menjulang, jalan-jalan raya, mall, ataupun taman hiburan. Mereka bangun di atas tanah tani, menggusur kepentingan yang paling penting, demi hal yang seharusnya dinomer duakan.

Kebodohan para penerus bangsa negeri tersebut, didukung oleh kebodohan dari pemimpin negeri mereka sendiri. Ia seorang diktaktor kejam, apa yang tak disukainya, lenyap!

Para tani yang tersisa mencoba mempertahankan keadaan mereka sebagai tani, meski kian lama tergerusi.

Melalui kebijakannya, pemimpin negeri itu melakukan kebijakan sewenang-wenang. Seolah dia tidak pernah merasakan kesusahan bahkan kepedihan dalam hidupnya.

"Untuk seluruh tani, jika tanah pertanian kalian melewati jalur pembangunan, maka tanah pertanian kalian akan dibeli oleh pemerintah, untuk melanjutkan pembangunannya....." Kata pemimpin negeri itu.

"Aduh, kian lama kita akan tergusur......" Kata Haen.

"Iya, kita tidak akan lagi sanggup bertahan di atas tanah moyang kita sendiri....." Kata Marx ikut dalam gelisah.

"Jika tani kian lama terusir dari peradaban, lalu siapa yang memberi makan setiap orang?" Tan mengkritisi kebijakan penguasa itu.

Mereka akhirnya berdiskusi, bagaimana cara melawan tindak sewenang-wenang tersebut.

"Sekali dalam hidup kau harus menentukan sikap..." Tan kian berapi-api.

"Menurutmu, sikap bagaimana yang harus kita ambil?" Marx mencari tahu..

"Dengan cara melawan, ya sebaik-baiknya adalah MELAWAN.." Haen pun tersundut api panas dari Tan.

"Lantas apa melawan dengan cara apa?" Marx masih terus mencari tahu..

"Dengan cara mengumpulkan aksi massa yang teratur...." Kata Tan mencoba menggurui Marx..

"Iya betul, mari kita kumpulkan massa, kita sebar propaganda-propaganda!!!" Haen kembali berapi-api.

"Keluarkan segala daya upayamu Marx, diam akan menjadikanmu budak kesayangan mereka (penguasa)." Tan kembali menggurui.

"Baik, sebaik-baiknya kita memulai untuk melawan.." Marx juga tersulut api yang membara dari dua kawannya.

*

Setelah mereka berhasil mengumpulkan massa yang berserakan yang juga terlindas haknya, mereka menghampiri istana tempat penguasa bertahta.

"Hei kau, keluarlah dari tempat nyamanmu.." Tan berteriak lantang!

"Mari kau dengar jerit tangis bahkan teriakan ketakutan daripada rakyatmu! KELUARLAH!!!" Haen melanjuti!

"Apa kau sudah tuli, tuan? tidakkah kau mendengar suara kami? tidakkah kau lihat penderitaan kami? tidakkah kau rasakan kesakitan kami." Marx terbakar!

Penguasa yang sedang tidur siang pun menghampiri masa yang berserakan.

"Ada apa ini?" Penguasa bingung dibuatnya.

"Ada apa kau bilang? Kau dalam zona nyamanmu seolah semua baik-baik saja...."

"Tidakkah kau ingat? kau sedang merenggut hak kami!?"

"Kalian ini petani miskin..! mau apa kalian dengan penguasa "kaya raya" sepertiku?"

"Hei bung! kau tak boleh lebih jumawa ketimbang Tuhan! Ingat, kecerdasan dirimu adalah karena jerih payah kami.."

"Jerih payah apa yang kalian maksudkan?"

"Darimana kau makan, lalu menjadi cerdas, bahkan memiliki badan sehat. Dari mana asal makananmu? Jika bukan hasil tangan petani miskin ini.."

"Aku makan dari uangku! aku juga tidak membeli bahan makan dari negeri ini. Negeri ini bukan kelas saya!"

"kalau begitu, kau makan dari petani miskin entah darimana pun itu. Mungkin petani itu masih bisa mencukupi makanmu sekarang. Karena pemerintah mereka memperhatikan mereka, tidak seperti kau!!"

"Diamlah kalian, jangan kalian gurui aku. Aku terdidik! tidak seperti kalian...!!!"

"Hei bung, SEORANG TERDIDIK HARUS ADIL SEJAK DI DALAM PIKIRAN, APA LAGI DI DALAM PERBUATAN!!"

"INGAT, DAN CATAT BAIK-BAIK. TUJUAN DARI PENDIDIKAN ADALAH UNTUK MEMPERTAJAM KECERDASAN, MEMPERKUKUH KEMAUAN, SERTA MEMPERHALUS PERASAAN..."

"LANTAS APA YANG MEMBUAT KALIAN MARAH-MARAH BEGINI TUAN-TUAN...." Seorang ajudan pemerintah turun tangan.

"Kami menolak pembangunan kalian! Pembangunan kalian adalah hak bagi kalian, AKAN TETAPI JANGAN SEKALI-SEKALI MELANGGAR HAK KAMI!!"

"BETUL, UNTUK APA JALAN-JALAN, UNTUK APA GEDUNG-GEDUNG. TIDAKKAH KALIAN BERPIKIR, BAHWA GEDUNG DAN JALAN TIDAK AKAN MEMBUAT KALIAN KENYANG!!"

"KITA BISA MEMINTA MAKAN KEPADA NEGERI LAIN.."

"HEI BUNG, KAU PEMIMPIN! KAU SEHARUSNYA BIJAKSANA DALAM PERBUATAN!! BAGAIMANA BISA KAU AJARI NEGERIMU UNTUK MENJADI PENGEMIS??"

"Bagaimana pun kalian melawan, kalian akan tetap kalah, karena kami berkuasa!!"

"Tidakkah kau lupa, bahwa tanpa rakyat kalian bukan apa apa!??"

"Ajudan, siapkan serdadu untuk mengusir mereka" kata penguasa.

"Siap!!"

"HEI AJUDAN, INGATKAN PADA SERDADU, BAHWA PELURU, BAJU, SENJATA MEREKA ADALAH MILIK RAKYAT. MEREKA ADA KARENA RAKYAT!!"

"DIAM KAMU!"

*

Massa pun akhirnya diusir secara paksa, bahkan nyawa menjadi taruhannya. karena serdadu lebih memihak kepada penguasa.

"Kita kalah Tan.." Marx membuka pembicaraan

"Iya kita kalah, akan tetapi kalah dengan sebaik-baiknya perlawanan..." Tan menanggapi.

"Betul, lebih baik kalah menjadi abu karena MELAWAN, daripada harus menjadi emas yang hanya DIAM..." Haen menutup.

Beberapa percakapan diambil dari buku-buku Pramoedya Ananta Toer dan Tan malaka.

Komentar

Postingan Populer